ads
Saturday, July 1, 2017

July 01, 2017


Secara leksikal/harfiah ‘Id berarti kebiasaan, tradisi, sesuatu yang berulang, dan kembali. Sementara Fithr berarti makan atau berbuka setelah sebelumnya berpuasa. Dengan demikian, Idul Fitri bisa diartikan sebagai hari untuk merayakan makan dan minum setelah sebelumnya berpuasa.
Bisa juga Idul Fitri diartikan kembalinya kita kepada kefitrian, orisinalitas, atau asal kejadian. Dalam pemaknaan yang kedua inilah --walaupun tentu masih banyak pemaknaan yang lain-- teramat patut bagi kita untuk merefleksikannya.
Dalam konteks ini, ada satu pesan dari murabbi al-ruh KH. M. Arifin Fanani, pengasuh Ma’had al-‘Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUS-YQ) Kudus, yang sangat lekat di ingatan penulis. Dalam pesannya, beliau dhawuh, “Man nasiya al-ashla faqad dhalla, siapa yang melupakan asalnya sungguh dia telah tersesat.”
Untuk mengingat muasal kita, bisa dilakukan dengan cara mudik (kembali), baik mudik secara kultural, antropologis, maupun teologis.

Mudik Kultural
Secara kultural, mudik lazim dilakukan dengan kembalinya kita ke kampung halaman untuk sungkem kepada asal kejadian kita, yaitu bapak dan ibu. Berasal dari pertemuan mereka berdua itulah selanjutnya kita lahir di dunia ini. Kepada mereka berdua pula kita memohon curahan doa dan keridhaan.
Selain sungkem kepada kedua orang tua, Idul Fitri juga menjadi momentum paling mudah untuk ngumpulke balung pisah. Bertemu keluarga, saling silaturahim dengan kerabat dan tetangga, saling mengunjungi kawan karib, dan saling mengenal antarsaudara.
Barangkali “hanya” dalam momentum Idul Fitri inilah kita tergerak secara masal untuk menelisik dan merunut garis hubungan keluarga kita. Tidak sebatas keluarga kecil, tetapi meluas hingga keluarga besar. Tidak mengherankan jika kemudian digelarlah Halal Bihalal Keluarga Besar Simbah Mangunkusumo, Syawalan Bani Haji Syaibani, atau Syawalan Trah Simbah Abdullah.
Tradisi ini mungkin tidak dicontohkan oleh Kanjeng Nabi, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat sesaui dengan dhawuh Kanjeng Nabi, “Pelajarilah nasab (garis keturunan) kalian yang sehingga bisa membuat kalian menyambung tali silaturahim; karena silaturahim dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, melapangkan harta, dan memanjangkan umur.” (H.R. Tirmidzi)

Mudik Antropologis
Secara antropologis, mudik dilakukan dengan kembali menyadari bahwa kita berasal dari seorang bapak dan ibu yang sama (min dzakarin wa untsa), yaitu Adam dan Hawa. Berasal dari mereka lahirlah manusia di bumi ini secara berbangsa-bangsa, bersuku-suku, berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berlainan pula adat dan budaya, bahkan juga berbeda agama. Begitulah sunnatullah.
Firman Allah Ta’ala, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kalian . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)
Apa pun bangsa dan suku kita, kita adalah sama, yakni sama-sama anak-cucu Adam. Sebagai sesama manusia, sama-sama anak-cucu Adam, menjadi keniscayaan bagi kita untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai. Untuk mewujudkan itu, sudah saatnya kita menggeser sudut pandang dari “kerukunan antarumat beragama” menjadi “kerukunan antarumat manusia”. Dengan sudut pandang ini, agama tidak akan lagi dikesankan sebagai sumber disharmoni.
Berbeda agama adalah pilihan pribadi, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah secara pribadi pula. Karena itulah Allah melarang kita memaksa siapa pun memeluk Islam (Q.S. al-Baqarah [2]: 256). Bahkan, demi terhindarnya diharmoni, Allah juga melarang kita menghina dan memaki sesembahan mereka.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am [6]: 108)

Mudik Teologis
Dalam term mudik kultural dan mudik antropologis, manusia ditempatkan dalam kedudukan yang setara, baik dari segi penciptaan, keturunan, kesukuan, dan kebangsaan. Akan tetapi, sebagai ibad al-Rahman atau hamba Allah yang Maha Pemurah, kita mempunyai kewajiban untuk mencapai mudik yang terpuncak, yaitu mudik secara teologis.
Mudik secara teologis bisa kita lakukan adalah dengan cara kembali menyadari dan senantiasa menyadari asal kejadian kita yang paling mula, yaitu al-Khaliq Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan kesadaran ini, akan teguhlah hati kita untuk menghamba kepada-Nya secara total dan penuh ketakwaan. Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13, Allah Ta’ala berfirman,“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kalian...”
Dalam mudik teologis ini, kita kembali disadarkan bahwa sejatinya kita adalah makhluk Allah, hamba Allah, milik Allah, dan kelak pun akan kembali/mudik kepada Allah. Allah tidak menciptakan kita, kecuali agar tunduk menghamba/beribadah kepada-Nya. Dia-lah puncak tujuan hidup kita. Dan sebaik-baik bekal untuk menuju kepada-Nya adalah adalah dengan takwa.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)
Saat kita mudik ke kampung halaman dengan membawa banyak bekal berupa uang, kendaraan, dan Khong Guan, sudah siapkah kita membawa bekal yang lebih banyak untuk mudik ke kampung keabadian?

Wallahu a’lam.

*) Tulisan ini dipublikasikan di buletin Thallaba edisi 14, Syawal 1438 H/Juli 2017 M.

0 comments: