ads
Friday, November 24, 2017

November 24, 2017
2

Sebelum terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Bung Tomo, sang santri kalong, sowan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta petunjuk. Ketika Bung Tomo bertanya kapan waktu tepat untuk melakukan penyerangan, Rois Akbar NU itu menjawab, “Tunggu kedatangan kiai dari Cirebon.”
Siapa gerangan kiai dari Cirebon? Ternyata adalah Kiai Abbas dari Desa Buntet, Cirebon. Kiai Abbas memang terlibat aktif dalam pertempuran 10 November bersama para santrinya. Beliau juga berkontribusi besar atas ditetapkannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
Setiba di Surabaya, Kiai Abbas langsung membaur dengan para pejuang dari Laskar Hizbullah, Laskar Sabilillah, pejuang Pembela Tanah Air (PETA), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan pejuang Arek-Arek Surabaya yang lain. Banyak karamah Kiai Abbas yang ditampakkan Allah saat itu. Di antaranya taburan pasir yang digenggam beliau selalu membuat musuh lari kocar-kacir seolah mereka terhujani meriam atau bom dari tangan kiai penuh karamah ini.
Tulisan ini tidak hendak mengurai karamah-karamah beliau, sebab ada hal lain yang lebih penting dari sekadar itu, yaitu nasionalisme beliau yang melintasi batas kesukuan bahkan agama. Semua bersatu dan saling membahu menegakkan kedaulatan NKRI.
Nasionalisme bukanlah barang haram, sebagaimana ditudingkan sebagian kecil kelompok Islam belakangan ini. Nasionalisme justru dicontohkan langsung oleh Kanjeng Nabi, ditandai dengan penyusunan konstitusi Piagam Madinah untuk mengikat seluruh masyarakat Madinah tanpa membedakan agama, suku, maupun kelas sosial. Piagam ini bertujuan untuk membela kedaulatan Madinah dan mewujudkan masyarakat bersatu (ummah wahidah). Inilah praktik bela negara masyarakat Madinah yang dimotori langsung oleh Kanjeng Nabi.
Dalam al-Qur’an, kata ‘bangsa’ setidaknya diwakili (antara lain) oleh kata qaum dan sya’b/syu’ub. Kata qaum disebut sebanyak 322 kali, sedangkan kata sya’b/syu’ub disebut sekali dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu….”

Semoga Allah menjadikan kita semakin mencintai Tanah Air ini, sebagaimana Rasulullah juga berdoa meminta kecintaan kepada Tanah Air beliau sekaligus Tanah Suci bagi seluruh umat Islam di dunia: Mekah dan Madinah.

*) Tulisan singkat ini dipublikasikan di Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat pada Jumat, 17 November 2017, halaman 10.

2 comments:

Maya said...

Kedaulatan Rakyat dengan format digital memudahkan pembaca beritanya pak, jadi nasionalisme yang sering jadi perdebatan itu hal yang membingungkan, sebagai Orang Indonesia sudah seharusnya membela dan mencintai negara seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah terima kasih dpt pencerahan pak semoga berkah

Irham Sya'roni said...

Iya, Mbak, bisa diakses siapa pun dan dari mana pun.
Aamiin, terima atas atensinya, ya, Mbak.